Mr. Khan : Tak Masuk Akal, Orang Gila Diberikan Hak Pilih Dalam Pemilu 2019
JAKARTA - Pengamat hukum dan politik, Mr. Khan menanggapi tentang kebijakan Pemerintah Republik Indonesia yang mempersiapkan data-data pasien penderita gangguan kejiwaan atau cacat mental untuk diberikan hak suara dalam Pemilihan Umum (PEMILU) 2019 mendatang.
"Apakah pantas pasien gangguan jiwa atau orang gila diberikan hak bersuara untuk ikut memilih calon Presiden, Wakil Presiden dan Calon Legislatif daam Pemilu tahun 2019?," ungkap Mr Kan, melalui Pers Release, Kamis (15/11/18).
Menurutnya, kebijakan yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan memberikan hak suara kepada pasien gangguan jiwa atau orang gila untuk ikut memilih calon Presiden, Wakil Presiden dan calon Legislatif di tahun 2019 mendatang sangat bertentangan dengan logika jika dikaitkan dengan Ilmu Hukum Pidana.
"Dikarenakan dua alasan kuat yaitu berdasarkan pasal 145 angka 4 Het Herzienne Inlandsche Reglement (HIR), sebagai saksi tidak dapat didengar orang gila, meskipun ia kadang kadang mempunyai ingatan terang," terangnya.
Masih kata Mr. Kan, berdasarkan ketentuan tersebut berarti pasien gangguan jiwa atau orang gila untuk dijadikan saksi pun sudah tidak bisa. "Apalagi disuruh memberikan keputusan untuk memilih calon Presiden, Wakil Presiden dan Calon Legislatif. Walaupun di pasal 171 KUHAP menyatakan orang gila dapat dijadikan saksi namun tanpa dengan sumpah," ungkapnya.
Kemudian lanjutnya, berdasarkan Pasal 44 ayat (1) KUHP berbunyi : Tiada dapat di pidana barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat di pertanggung jawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.
"Berdasarkan ketentuan diatas, ini berarti perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pasien gangguan jiwa atau orang gila saja tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, apalagi disuruh melakukan perbuatan memilih calon Presiden, Wakil Presiden dan calon Legislatif," kata pria yang mempunyai nama Kan Hiung.
Ia menegaskan, kebijakan pemerintah tersebut selain bertentang dengan ilmu hukum pidana juga tidak dapat diterima oleh akal sehat.
"Benar- benar tidak dapat diterima oleh akal sehat kita yang masih waras, Saya saranan pemerintah agar dapat segera mempertimbangkan kembali secara matang atas kebijakan satu ini. Dan harapan saya, pemerintah dapat membatalkan kebijakan satu ini," tandasnya. (Red)
Mr.Kan Pengamat Hukum dan Politik
"Apakah pantas pasien gangguan jiwa atau orang gila diberikan hak bersuara untuk ikut memilih calon Presiden, Wakil Presiden dan Calon Legislatif daam Pemilu tahun 2019?," ungkap Mr Kan, melalui Pers Release, Kamis (15/11/18).
Menurutnya, kebijakan yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintah Republik Indonesia dengan memberikan hak suara kepada pasien gangguan jiwa atau orang gila untuk ikut memilih calon Presiden, Wakil Presiden dan calon Legislatif di tahun 2019 mendatang sangat bertentangan dengan logika jika dikaitkan dengan Ilmu Hukum Pidana.
"Dikarenakan dua alasan kuat yaitu berdasarkan pasal 145 angka 4 Het Herzienne Inlandsche Reglement (HIR), sebagai saksi tidak dapat didengar orang gila, meskipun ia kadang kadang mempunyai ingatan terang," terangnya.
Masih kata Mr. Kan, berdasarkan ketentuan tersebut berarti pasien gangguan jiwa atau orang gila untuk dijadikan saksi pun sudah tidak bisa. "Apalagi disuruh memberikan keputusan untuk memilih calon Presiden, Wakil Presiden dan Calon Legislatif. Walaupun di pasal 171 KUHAP menyatakan orang gila dapat dijadikan saksi namun tanpa dengan sumpah," ungkapnya.
Kemudian lanjutnya, berdasarkan Pasal 44 ayat (1) KUHP berbunyi : Tiada dapat di pidana barang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat di pertanggung jawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.
"Berdasarkan ketentuan diatas, ini berarti perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh pasien gangguan jiwa atau orang gila saja tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, apalagi disuruh melakukan perbuatan memilih calon Presiden, Wakil Presiden dan calon Legislatif," kata pria yang mempunyai nama Kan Hiung.
Ia menegaskan, kebijakan pemerintah tersebut selain bertentang dengan ilmu hukum pidana juga tidak dapat diterima oleh akal sehat.
"Benar- benar tidak dapat diterima oleh akal sehat kita yang masih waras, Saya saranan pemerintah agar dapat segera mempertimbangkan kembali secara matang atas kebijakan satu ini. Dan harapan saya, pemerintah dapat membatalkan kebijakan satu ini," tandasnya. (Red)
Mr.Kan Pengamat Hukum dan Politik